Menguji Ketangguhan Kontrol Sosial

Perjalanan menuju kantor pada pagi hari ini saya rasakan cukup membekas di ingatan, berulang-ulang dan terus di “rewind” oleh syaraf otak menuju hati, menimbulkan banyak pertanyaan sebagai bahan introspeksi diri saya sendiri: “Apakah sudah betul aksi yang saya lakukan tadi??? apakah saya terlalu lebay ketika menegur pasangan yang membuang beberapa kantong besar berisi sampah di sungai??? Sampah lho itu, bukan bayi atau body hasil mutilasi. Apakah saya termasuk kategori masyarakat alay ketika secara spontanitas mulut saya berkata “Bang/Kak, malulah buang sampah ke sungai!!!” dengan nada yang sedikit menantang emosi karna memang saya agak sedikit emosi melihat pasangan yang membuang sampah tersebut juga memakai seragam Aparatur Sipil Negara (ASN), sama seperti seragam yang saya pakai pagi ini??? malu-maluin aja, astagfirlahaladzim, sekilas lupa jika sedang berpuasa, maklum darah muda. Menyadari kondisi bahwa saat ini adalah bulan ramadhan yang penuh barokah, saya bergegas melanjutkan perjalanan menuju kantor meskipun terdengar teriakan dari si “abang” yang mungkin masih belum terima dengan teguran saya tersebut.

Setelah bermuhasabah/introspeksi diri sebentar sebelum melakukan rutinitas kantor, dengan mantap saya menyimpulkan bahwa apa yang saya lakukan SUDAH BENAR (maaf jika kesimpulan saya ini salah), hanya saja cara saya menegur perlu diperbaiki, mungkin dengan tidak melibatkan emosi dan pelototan mata yang menantang. Kenapa SUDAH BENAR? beberapa alasan yang dapat saya sampaikan antaralain:

 

  1. Karena apa yang dilakukan oleh pasangan tersebut MEMANG SALAH, meskipun hanya tentang membuang sampah di sungai. Sungai bagi masyarakat Mempawah memiliki peran sangat penting, untuk memenuhi kebutuhan air bersih, transportasi lokal, perekonomian lokal (budidaya ikan melalui keramba jaring apung), dan lain sebagainya. Dan sebagai masyarakat Mempawah, saya merasa memiliki Sungai Mempawah yang saya yakini memiliki potensi besar bagi pengembangan daerah jika dikelola secara optimal.

 

  1. Karena saya adalah seorang Muslim, dan seorang muslim dianjurkan untuk melakukan perbuatan yang baik, dan juga melarang atau mencegah perbuatan yang keji serta munkar (Amar Ma’ruf Nahi Munkar), bukan malah mendiamkan kemunkaran dan kemaksiatan terjadi bahkan didepan bijik mate kite (kate orang Mempawah). Hal ini dijelaskan dalam dalam surat Ali Imran ayat 110 yang artinya:

 

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS: Ali Imran: 110).

Dalam sebuah hadits juga telah disebutkan bahwa:

“Barangsiapa melihat suatu kemunkaran hendaklah ia merobah dengan tangannya (perbuatannya). Apabila tidak mampu, hendaklah dengan lidahnya (ucapannya), dan apabila tidak mampu juga hendaklah dengan hatinya (doa) dan itulah tanda selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim).

 

  1. Karena saya ingin menghidupkan kembali kontrol sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Kontrol Sosial (baca: pengawasan masyarakat) sebagai alat pencegah lajunya degradasi moral masyarakat akibat masuknya budaya asing dan norma/nilai negatif dari luar yang sedikit demi sedikit menggerus budaya/norma/nilai/adat setempat. Pada kasus pagi tadi, kata-kata yang keluar dari mulut saya (“Bang/Kak, malulah buang sampah ke sungai!!!”) diharapkan menjadi sebuah kata pamungkas yang fasih diucapkan seluruh lapisan masyarakat ketika melihat orang berniat membuang sampah di sungai. Kata-kata seperti inilah yang diharapkan menjadi senjata dalam rangka men- “switch on” Kontrol Sosial dalam masyarakat yang pada akhirnya akan berimbas pada peningkatan Social Capital (Modal Sosial).

 

Dalam tulisan kali ini saya tidak akan membahas secara detail point nomor 1 (terkait potensi Sungai Mempawah dengan segala aktivitas disana), karena akan menjadi tulisan tersendiri di halaman Pesona #Mempawah. Pada halaman Cahaya Langit ini, saya akan sedikit membahas tentang point 2 dan 3 yang memiliki keterkaitan yang erat dan saling mendukung satusamalainnya, dan menurut saya sangat penting untuk dibicarakan dan diinformasikan kepada khalayak agar menjadi sebuah opini publik.

Keinginan besar saya untuk menghidupkan kembali kontrol sosial dalam kehidupan bermasyarakat dimulai dengan pemikiran bahwa salahsatu penyebab semakin meningkatnya kasus-kasus kriminalitas yang terjadi saat ini adalah karena semakin rapuhnya Kontrol Sosial Masyarakat pada saat ini. Kita tidak bisa menghindar dari serbuan budaya asing, kemajuan tekhnologi informasi, dan menolak menjadi bagian dari komunitas masyarakat global, itu adalah bagian dari peradaban yang sedang kita jalani. Namun yang terpenting adalah bagaimana kita membentengi diri, keluarga, dan masyarakat secara luas dengan nilai agama dan norma positif yang terlahir dari budaya / kearifan lokal.

Nilai agama dan norma positif tersebut dapat di”sosialisasikan” melalui teguran yang tujuannya sangat JELAS, agar orang yang bertindak secara tidak benar akan menyadari bahwa perbuatannya tidak baik dan diharapkan untuk segera membenahi diri. Beberapa pertanyaan yang perlu menjadi bahan introspeksi kita bersama sekaligus menguji seberapa tangguh kontrol sosial dalam masyarakat kita saat ini antaralain:

  • Seberapa besar respon kita untuk bergerak ketika melihat hal-hal yang tidak etis berlangsung didepan mata kita?
  • Berani gak sih kita menegur orang-orang yang melakukan perbuatan tidak etis / kemaksiatan tersebut?
  • Atau anda lebih memilih untuk diam saja di zona aman yang sekaligus menjelaskan bahwa kondisi iman masyarakat saat ini memang berada pada zona tidak aman?

 

Jawaban-jawaban kita diatas akan berpengaruh signifikan terhadap ketangguhan kontrol sosial yang notebene akan menjadi penentu keberhasilan generasi masa depan, anak cucu kita. Ketika kita mulai tidak respon dan acuh terhadap keadaan lingkungan sekitar kita, maka bersiaplah dengan kehidupan yang tidak aman, kekacauan dimana-mana, dan tunggulah saat-saat kehancuran itu. Namun saya sangat yakin dan percaya bahwa tidak ada nilai agama dan norma yang mengajak pada kemunkaran, mengajak orang untuk melakukan perbuatan-perbuatan maksiat dan jahat, menzalimi orang lain, dan lain sebagainya, jikalaupun ada itu pasti kategori ajaran sesat. Hanya saja kita selaku penganutnya yang belum maksimal mensyiarkan nilai-nilai kebaikan tersebut, belum berani untuk mengajak untuk melakukan perbuatan baik dan belum berani untuk menegur orang-orang yang melakukan perbuatan jahat, astaghfirlaahaladziim.

Diakhir tulisan ini saya mengajak pembaca yang berkenan untuk mulai melakukan gerakan/aksi secara bersama untuk berani menegur saudara/ pasangan/ anak/ cucu/ dll yang mungkin sedang khilaf dan melakukan perbuatan maksiat, jangan biarkan mereka terus-menerus melakukan hal-hal yang salah, yang pada akhirnya dianggap benar oleh mayoritas masyarakat awam karna kurangnya ilmu yang dimiliki dan tidak adanya teguran atau syiar yang dilakukan. Tegurlah saudara kita yang membuang sampah sembarangan, tegurlah anak-anak kita yang mulai belajar minum minuman keras dipinggir jalan, tegurlah anak sekolah berseragam yang mulai belajar merokok, tegur mereka yang mulai belajar pacaran dan berzinah di ruang publik, tegur tetangga kita yang menutup/memutuskan/menimbun aliran air (drainase), tegur teman kerja yang sering bawa pulang aset kantor, jika berani tegurlah atasanmu yang berniat melakukan korupsi uang negara, jika berani tegurlah pejabat di daerahmu yang terlalu sering menghamburkan uang di klub malam, jika berani tegurlah wakil rakyat terpilih yang terlalu sering jalan-jalan (tak tentu rudu gak ada hasil), jika berani tegurlah presiden/pemimpin yang zholim terhadap rakyat dan negaranya. Demi mewujudkan masyarakat yang madani dan semoga menjadi catatan amal baik kita di akherat kelak, aamiin.

 

Mempawah, 27 Juni 2016

longyan.mpw

 

 

Tinggalkan komentar